Sabtu, 30 April 2011

kaSus tidak konsistennya penegakan hukum diindonesia

Salah satu masalahnya adalah aturan hukum di Indonesia yang mengadopsi hukum dari zaman Belanda yang dianggap oleh masyarakat awam saling bertentangan, tidak jelas, dan tidak lengkap. Hal ini dikarenakan hukum di Indonesia yang digunakan tidak hanya hukum kolonial tetapi saling tumpang tindih dengan hukum yang berlaku di masyarakat yakni hukum adat . karena dalam hukum adat telah berjalan dengan sendirinya sejak masyarakat masih hidup dengan cara berkelompok hingga sekarang. Dan hukum adat itu sendiri lebih banyak berkembang didalam kehidupan bermasyarakat.

Sebagai pejabat yang berwenang melaksanakan tindakan penegakan hukum kiranya pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman yang didalam undang – undang adalah sebuah badan hukum yang diberi wewenang untuk melaksanakan dan menegakkan hukum itu sendiri mampu bekerja dengan berlandaskan moral dan etika. Karena sikap professional dalam tugas dan pekerjaan tidaklah cukup untuk menjalankan hukum itu sendiri. Hukum menurut berbagai ahli adalah meliputi berbagai unsur :
1. Peraturan tingkah laku manusia
2. Dibuat oleh badan yang berwenang
3. Bersifat memaksa walaupun tidak bisa dipaksakan
4. Disertai sanksi yang tegas
 Kasus Gayus Tambunan

 Ada yang menarik dalam persidangan kasus Gayus Tambunan (22/12) kemarin, di luar tuntutan jaksa yang luar biasa yaitu 20 tahun penjara untuk sang terdakwa. Gayus mengatakan bahwa dia tidak terlalu kaget dengan tuntutan itu, karena sekarang dirinya tidak mengurusi para jaksa. Berbeda dengan sidang pertamanya di Tangerang dulu, ketika dia hanya dituntut satu tahun percobaan, karena jaksa "ada yang mengurusi."
Sungguh sindiran yang mengena terhadap kebobrokan sistem hukum kita. Dan cukup menyedihkan bahwa untuk mengetahui fakta yang sudah menjadi rahasia umum tersebut, kita mendengarnya dari mulut orang yang dianggap sebagai salah satu penjahat terbesar sekarang ini. Bukan hal yang menyenangkan tentu saja, tetapi apa boleh buat. Para penegak hukum, ahli hukum dan anggota parlemen yang seharusnya mendidik rakyat agar taat hukum justru berkontribusi pada sistem yang rapuh itu, dan dari mereka kita tidak pernah menerima jawaban jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Jawaban standar dari para punggawa hukum adalah kita bertindak sesuai hukum dan aturan yang ada, karena Indonesia adalah negara hukum. Tetapi fakta yang banyak kita dengar, tindakan hukum bergantung pada berapa bayarannya. Atau seperti kata Gayus, diurus atau tidaknya para aparat hukum. Inilah salah satu penyebab terbesar dari rapuhnya sistem hukum kita, dengan akibat nyata yaitu inkonsistensi tuntutan jaksa atau putusan hakim. Hukum yang terbeli pasti bersifat diskriminatif dan tidak adil, padahal hukum diciptakan untuk memberantas diskriminasi dan menegakkan keadilan. Semua orang sama di muka hukum.
Jaksa yang menuntut Gayus dalam sidang pertama di Tangerang dan yang kedua di Jakarta memang berbeda orangnya, tetapi mereka mewakili insititusi, atau bahkan bisa disebut sebagai pengacara negara. Tetapi dalam kasus yang sama melawan orang yang sama, yaitu Gayus, negara menuntut dua kaliyang pertama satu tahun percobaan, yang kedua 20 tahun penjara. Sistem hukum macam apa ini?
Kekacauan sistem ini terjadi pasti karena ulah operatornya. Kalau sistemnya benar dan berjalan baik, tuntutan 20 tahun itu mungkin sudah disampaikan di sidang pertama, dan tidak perlu ada sidang kedua. Sekarang, Gayus bahkan bisa disidang sampai empat kali. Dia bisa disidang kembali karena menerima suap, dan yang ke empat karena meninggalkan selnya untuk jalan-jalan ke Bali.
Empat kali sidang untuk seorang Gayus! Padahal sistem hukum kita mendorong penanganan perkara yang berbiaya murah, efektif dan efisien. Semua orang melihat Gayus sebagai penjahat besarnya, dan melupakan para aparat yang bermain di belakang kasusnya dan justru merusak tatanan hukum yang mestinya mereka jaga. Dan kalau kita perhatikan, para penegak hukum yang diperkarakan bersama Gayus hanya mereka yang berpangkat rendah, kecuali yang membebaskan Gayus dulu. Anehnya lagi, belum satu pun jaksa yang dituduh menerima suap dari Gayus, padahal cukup jelas petunjuknya tuntutan yang cuma satu tahun percobaan dan pengakuan Gayus bahwa dia membayar jaksa sekitar Rp5 miliar lewat pengacaranya.
Dari kasus Gayus saja kita bisa berkaca betapa tidak konsistennya hukum di Indonesia, padahal kemungkinan besar masih banyak Gayus-Gayus lain yang sedang berperkara hukum. Yang menjadi masalah terbesar kita, kasus Gayus menjadi skandal karena akhirnya ketahuan, jadi kalau tidak ketahuan dia masih bebas dari dakwaan. Selama mental dan integritas aparat tidak diperbaiki, sistem hukum yang kacau injakan ialan terus, terutama jika penyimpangan yang mereka lakukan tidak terendus oleh publik. Reformasi bidang hukum memang harga mati dan harus segera dijalankan.
 
sumber : google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar